Jakarta|| cendrawasihtv, pernyataan Gubernur provinsi Jawa Barat KDM tentang rencana memindahkan pelaksanaan uji berkala (uji KIR) dari unit pemerintah (Dishub/UPPKB) ke bengkel resmi produsen kendaraan memicu perdebatan publik dan profesional. Pernyataan tersebut muncul sebagai respons terhadap keluhan publik mengenai praktik pungli, pelayanan administratif yang lamban, dan persepsi kualitas layanan uji berkala di beberapa daerah.(1/11/2025)
Wacana ini segera mendapat perhatian luas didukung sebagian kalangan yang melihat peluang efisiensi dan akuntabilitas pasar, namun juga mendapat kritik kuat dari organisasi profesi penguji, akademisi, dan sebagian praktisi transportasi yang khawatir akan implikasi tata kelola, konflik kepentingan, dan keselamatan publik.
II. Pertanyaan pokok yang harus dijawab
1. Apakah hukum memperbolehkan keterlibatan swasta dalam pelaksanaan pengujian berkala?
2. Jika diperbolehkan, sejauh mana batasan dan mekanisme pengawasan yang mesti diterapkan supaya fungsi negara terutama aspek pengesahan, akuntabilitas, dan keselamatan tetap terjaga?
3. Apakah alih fungsi atau pelimpahan penuh kewenangan ke bengkel swasta sesuai dengan prinsip prinsip hukum administrasi dan tujuan keselamatan publik?
III. Landasan hukum positif (ringkas dan relevan)
(Poin poin berikut dirujuk untuk analisis nomor pasal menunjukkan posisi norma yang diberlakukan dalam hierarki peraturan)
* UU No. 22 Tahun 2009 (LLAJ) menetapkan kewajiban teknis laik jalan mengamanatkan pengujian berkala sebagai instrumen keselamatan publik menempatkan tanggung jawab negara atas penyelenggaraan angkutan umum (Pas. 138) dan memberikan kerangka kewenangan pelaksanaan pengujian.
* UU No. 23 Tahun 2014 (Pemerintahan Daerah) mengatur pembagian urusan konkuren menegaskan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam pembinaan dan pengawasan daerah.
* PP No. 55 Tahun 2012 (Kendaraan) memperinci pengujian berkala; Pasal 53 PP 55/2012 menyatakan kegiatan pemeriksaan fisik dan pengesahan hasil uji; Pasal 53(3) membuka kemungkinan unit pelaksana pengujian pemerintah, ATPM (unit pelaksana agen tunggal pemegang merek) berizin, atau unit pelaksana pengujian swasta berizin.
* PM No. 19 Tahun 2021 (Pengujian Berkala) mempertegas kewenangan pelaksana (pemerintah kab/kota), mekanisme pendaftaran uji, tenggat waktu (mis. Pas.5), dan bahwa SDM penguji serta pengawasan pelaksanaan merupakan tanggung jawab pemerintah daerah; membuka ruang kerja sama teknis tetapi menegaskan pengendalian pemerintah.
* PM No. 156 Tahun 2016 (Kompetensi Penguji) mengatur standar kompetensi penguji, sertifikasi, dan jenjang jabatan fungsional; hasil uji hanya sah bila dilakukan/dipengesahkan oleh penguji bersertifikat yang diberi otoritas.
* PP No. 74/2014, PP No. 37/2017, PM No. 85/2018 mengamanatkan SMKPAU (Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan Angkutan Umum) sebagai kerangka pengawasan internal operator angkutan; mempertegas bahwa keselamatan adalah tanggung jawab manajemen perusahaan yang diawasi negara.
IV. Analisis hukum interpretasi dan batasan
1. Keterlibatan swasta diakui, tetapi bersyarat.
Pasal 53(3) PP 55/2012 memang menyebut tiga jenis pelaksana pemeriksaan fisik (pemerintah daerah; unit pelaksana ATPM berizin; unit pelaksana pengujian swasta berizin). Ini berarti secara formal hukum, keterlibatan swasta dimungkinkan. Namun ada dua catatan penting: (a) izin dari Pemerintah merupakan syarat legal; dan (b) pengaturan delegatif harus selaras dengan norma yang lebih tinggi (UU dan PP), terutama terkait pengesahan hasil uji dan tanggung jawab negara.
2. Pengesahan hasil uji dan legitimasi administrasi tetap berada di ranah publik.
Pemerintah (melalui kepala daerah dan/atau pejabat yang ditunjuk) memegang peran legitimasi administratif penerbitan bukti lulus uji (sertifikat/KIR/STUK) memiliki konsekuensi administratif (perizinan, registrasi, penegakan hukum). Oleh karenanya pelibatan swasta tidak boleh menghilangkan mekanisme pengesahan publik.
3. Kompetensi SDM adalah prasyarat legalitas.
PM 156/2016 menempatkan penguji sebagai jabatan fungsional yang disertifikasi. Jika unit swasta akan melakukan pemeriksaan fisik, maka pemeriksaan tersebut hanya sah bila dilakukan oleh penguji yang memenuhi kompetensi dan otoritas menurut regulasi atau bila hasil pemeriksaan itu diverifikasi/dipengesahkan oleh pejabat penguji berwenang.
4. Kekhawatiran konflik kepentingan tidak diabaikan oleh norma, tetapi risikonya nyata.
Mekanisme izin dan pengawasan bertujuan untuk mengatasi konflik kepentingan (mis. ATPM memeriksa produk sendiri; bengkel mendapat keuntungan dari perbaikan agar “lulus”). Namun kewenangan teknis dan pengesahan yang tetap ada pada pemerintahlah yang menjadi kontrol terakhir. Jika praktik di lapangan melemahkan kontrol ini (mis. pengawasan longgar), maka legalitas formal tidak cukup menjamin keselamatan substantif.
5. Peran gubernur dan dinamika vertikal pemerintahan.
Menurut UU 23/2014, gubernur berfungsi sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk pembinaan dan pengawasan. Pernyataan gubernur yang menilai pelaksanaan uji berkala di kab/kota tidak efektif dapat menjadi dasar pembinaan atau rekomendasi. Namun secara hukum gubernur tidak otomatis melimpahkan kewenangan kabupaten/kota kepada swasta tanpa dasar regulasi yang tepat setiap perubahan pelimpahan kewenangan memerlukan dasar normatif yang jelas (peraturan pelaksana/keputusan teknis) dan prosedur transparan.
V. Keberatan hukum dan kebijakan (termaktub) argumen menolak pelimpahan penuh
Berdasarkan analisis di atas, keberatan IPKBI terhadap wacana pelimpahan penuh pelaksanaan uji berkala ke bengkel swasta adalah sebagai berikut
1. Melanggar prinsip legalitas fungsional.
Menyerahkan fungsi pengawasan publik yang berimplikasi pada keselamatan pada aktor komersial tanpa basis peraturan yang mengatur mekanisme pengalihan kewenangan dan jaminan akuntabilitas akan menabrak prinsip pembagian tugas pemerintahan (UU 22/2009 dan UU 23/2014).
2. Mengancam independensi dan objektivitas uji.
Bengkel atau ATPM memiliki kepentingan ekonomi terkait hasil uji; tanpa mekanisme verifikasi independen oleh pejabat penguji bersertifikat, risiko false-negative (kendaraan tidak laik tetapi dinyatakan laik) meningkat.
3. Mengaburkan tanggung jawab hukum negara.
Jika fungsi pengesahan dan kontrol negara melemah, ketika terjadi kecelakaan akibat kelayakan teknis kendaraan, muncul problem akuntabilitas: siapa yang bertanggung jawab? Negara (yang melepaskan fungsi) atau swasta (yang menjalankan pemeriksaan tanpa otoritas publik penuh)? Hukum publik tidak memberi ruang leluasa untuk memindahkan tanggung jawab keselamatan publik ke entitas komersial.
4. Bertentangan dengan tujuan sistem registrasi/pengesahan administratif.
Pasal 5 PM 19/2021 mengikat uji berkala dengan registrasi kendaraan (STNK/SRUT) dan tenggat administrasi. Praktik yang memisahkan uji dari sistem registrasi nasional dapat menimbulkan celah integritas data dan manipulasi.
5. Resiko praktis pada penegakan dan akuntabilitas
Pengawasan yang lemah memungkinkan praktik korupsi baru (contoh: “skema perbaikan lalu lulus” yang terstruktur), atau terjadinya fragmentasi mutu antar daerah.
VI. Rekomendasi kebijakan solusi yang berimbang dan berbasis hukum
Agar tujuan efisiensi dan pemberantasan pungli tidak dipakai sebagai dalih melemahkan fungsi negara, IPKBI merekomendasikan langkah langkah berikut
1. Pertahankan pengesahan hasil uji pada otoritas publik.
Meski pemeriksaan fisik dapat dilakukan oleh unit berizin (termasuk swasta/ATPM), pengesahan dan penerbitan bukti lulus uji harus tetap dilakukan oleh pejabat penguji yang berwenang (bersertifikat) pada unit pemerintah atau pejabat yang ditunjuk sesuai prosedur.
2. Sistem izin dan akreditasi yang ketat untuk unit pelaksana swasta/ATPM.
Standar akreditasi peralatan dan fasilitas
Persyaratan SDM penguji bersertifikat PM 156/2016
Kewajiban integrasi data ke Sistem Pengujian Berkala Nasional (untuk audit/traceability).
3. Digitalisasi penuh proses uji berkala dan transparansi data.
Integrasi hasil uji ke basis data nasional (real-time) sehingga manipulasi sulit dilakukan dan pengawasan terpusat (provinsi/pusat) berjalan efektif.
4. Perkuat kapasitas penguji ASN dan non ASN yang berstatus pejabat fungsional.
Program pelatihan, sertifikasi berkelanjutan, sistem remunerasi yang memadai, dan mekanisme sanksi tegas untuk pelanggaran integritas.
5. Fokus pada penguatan SMKPAU untuk perusahaan angkutan umum.
Dengan meningkatkan audit internal dan eksternal pada perusahaan angkutan, frekuensi kendaraan tidak laik yang beroperasi dapat dikurangi tanpa memindahkan fungsi pengujian.
6. Konsultasi hukum administrasi formal untuk setiap rencana perubahan kewenangan.
Jika pemerintah daerah menghendaki model baru, harus ada kajian hukum yang mengarah pada peraturan pelaksana (Perda/Perkada, Peraturan Menteri/Keputusan) yang membuka ruang jelas tanpa melemahkan pengawasan publik.
7. Peran aktif organisasi profesi (IPKBI).
Menyusun standar kompetensi nasional penguji (sebagai bagian advokasi), mengawal akreditasi, dan menjadi mitra pembina pemerintah;
Menyediakan mekanisme whistleblowing dan audit profesional independen.
VII. Kesimpulan
Secara normatif, hukum nasional membuka kemungkinan keterlibatan swasta dalam aspek teknis pemeriksaan (PP 55/2012 Pas.53(3)), tetapi keterlibatan itu bersyarat, dibatasi, dan harus berada di bawah pengawasan ketat pemerintah daerah sesuai PM 19/2021 dan PM 156/2016. Wacana yang tampak mengarah pada pelimpahan penuh fungsi pengujian ke bengkel swasta menimbulkan risiko hukum dan keselamatan publik yang substansial.
Oleh karena itu, setiap inovasi kebijakan harus dirancang untuk memperkuat, bukan melepaskan, fungsi pengawasan negara akreditasi yang ketat, sertifikasi SDM, digitalisasi proses, dan penegakan akuntabilitas. Implementasi SMKPAU dan pengawasan perusahaan angkutan adalah jalur efektif untuk menurunkan angka kecelakaan tanpa mengalihdayakan tanggung jawab negara atas keselamatan publik.
(Rohena)






